Masa kecil saya penuh dengan pelajaran berharga, banyak di antaranya saya dapatkan dari ibu saya, seorang sosok pendidik yang keras.
Saya ingat betul pernah dipukul menggunakan selang dan dijewer olehnya. Namun, jika melihat kembali, saya akui, saya memang cukup nakal waktu kecil.
Mungkin cara mendidik yang keras memang umum pada masa itu. Meski begitu, saya belajar banyak tentang pentingnya disiplin.
Pendidikan yang keras tidak selalu salah; dalam banyak hal, hal itu dibutuhkan untuk membentuk dan menempa karakter diri.
Hidup ini tidak sesederhana yang dibayangkan, dan kesuksesan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kesuksesan yang saya raih hari ini tidak datang dengan mudah; semuanya berkat usaha keras dan disiplin yang luar biasa.
Namun, yang paling penting dari pendidikan seorang ibu adalah doanya. Doa ibu bisa menembus langit dan dikabulkan oleh Allah.
Ada hadis Nabi Muhammad saw yang mengatakan bahwa keridaan Allah bergantung pada keridaan ibu, dan kemurkaan Allah bergantung kepada kemurkaan ibu.
Saya sadar betul bahwa kesuksesan saya dalam berbisnis maupun dalam membantu orang lain tidak lepas dari doa ibu saya.
Ibu selalu menekankan pentingnya ibadah dalam hidup. Sewaktu kecil, selain sekolah di pagi hari, saya juga seperti anak-anak pada umumnya di Bondowoso, belajar mengaji di masjid pada malam harinya.
Saya ingat, saya belajar ngaji di Masjid Jamik Attaqwa yang tidak jauh dari rumah. Saya sempat bergabung menjadi remaja masjid di sana.
Suatu kali, ketika pulang dari masjid, kepala saya basah seperti orang berkeringat. Ibu mengira saya belajar dengan sangat serius hingga berkeringat. Namun ternyata, kopiah saya digunakan untuk mengambil air wudu sehingga basah.
Kopiah basah itu, ketika dipakai, airnya seperti diperas membasahi kepala saya, sehingga tampak seperti berkeringat.
Saya juga sempat dipindahkan tempat mengaji ke lokasi yang lebih jauh karena sering bolos. Program mengaji ini saya tuntaskan selama sekolah dasar.
Saya belajar banyak dari ketegaran ibu saya, terutama ketika orang tua saya bercerai. Mereka meninggalkan satu rumah yang diberikan kepada saya, tidak jauh dari rumah nenek.
Pada usia 17 tahun, rumah itu dibalik nama menjadi atas nama saya. Rumah itu sebenarnya disiapkan untuk biaya pendidikan saya, tetapi ibu tetap berusaha keras untuk menggunakan biaya sendiri bagi sekolah saya.
Sampai saat ini, rumah itu masih ada dan saya selalu menyempatkan diri untuk bertemu dengan ayah saat berkunjung ke Bondowoso.
Pengalaman-pengalaman ini mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan, disiplin, dan kekuatan doa seorang ibu. Semua ini menjadi fondasi bagi kesuksesan yang saya capai hari ini.
Bersambung……
baca juga artikel sebelumnya tentang Part 6 : Sekapur Sirih Resep Satu, Usaha Merakit Komputer
Yang belum membaca part sebelumnya boleh nggih dari Part 1: Sekapur Sirih, Beban Menjadi Tantangan