Setelah bekerja sekitar dua tahun menjaga warnet, tepatnya pada tahun 2003, saya memutuskan untuk menikah dengan wanita yang kini terus membersamai saya. Dia adalah Mira Susauda, gadis asli Malang. Saat itu, saya masih berumur sekitar 21 tahun, usia yang terbilang cukup muda untuk menikah.
Menjaga warnet memiliki tantangannya sendiri, terutama dengan adanya godaan tontonan yang “kurang sehat bagi mental”. Suatu malam, ada pelanggan yang meminta saya untuk meng-copy blue film menggunakan disket. Saat itu, biaya meng-copy per mega adalah seribu rupiah, sehingga dalam sehari saya bisa mendapatkan Rp50-60 ribu.
Namun, saya menyadari bahwa kegiatan ini tidak baik dan merasa perlu melakukan sesuatu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Keputusan untuk menikah tidak berawal dari pacaran seperti umumnya anak muda saat ini. Saya memang sibuk menjaga warnet dan tidak sempat mencari gadis-gadis “manis” di Malang. Suatu hari, teman sekamar saya, Saian, yang bekerja di Ramayana, mengenalkan saya pada Mira yang juga karyawan di Ramayana.
Perkenalan kami cukup kaku. Saya saat itu ingin menjual HP Nokia 3310 yang baru saya dapat dari bos warnet. Saian membantu menawarkan HP tersebut kepada Mira, dan dari situlah perkenalan kami dimulai. Saat bertemu, ada sesuatu dalam batin saya yang merasa tertarik pada Mira. Saya bahkan memberikan HP itu tanpa meminta bayaran, sebagai trik untuk menaklukkan hatinya.
Mira menerima ajakan saya untuk menikah tanpa penolakan. Meski gaji saya menjaga warnet tidak sampai sejuta rupiah, saya sudah berniat baik. Niat ini sempat dipertanyakan oleh ibu saya yang menginginkan saya kuliah dan menjadi PNS. Namun, saya berhasil meyakinkan beliau dan akhirnya resmi menikah pada tahun 2003.
Setelah menikah, saya tetap menjaga warnet sementara Mira tetap bekerja di Ramayana sebagai pramuniaga sepatu Homiped. Tidak lama kemudian, kami dikaruniai anak pertama, Maritza Assifa Az’ Zahra. Mira mengambil cuti selama tiga bulan dari Ramayana, yang kemudian diperpanjang hingga lima bulan karena ada rencana pindah ke Matahari.
Namun, syarat tinggi badan di Matahari tidak bisa dipenuhi, sehingga Mira tidak bisa bekerja lagi setelah cuti melahirkan.
Keadaan ini membuat saya merasa harus lebih bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain menjaga warnet, saya mencoba berbagai pekerjaan lain seperti money game dan MLM untuk mendapatkan tambahan penghasilan.
Saat awal menikah, kami tinggal bersama mertua di Jalan Tanjung, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Saat anak kedua, Saquille I’zaz Savero, lahir, kami pindah mengontrak dekat Rumah Sakit RST. Ketika anak ketiga, Nafeeza Khanza Az-Zahra, lahir, kami sudah tinggal di rumah sendiri di Gasek, Karangbesuki, Kota Malang.
Untuk anak keempat, kelima, dan keenam (Banafsha Adzkia Azzahra, Shafiyah Muazah Azzahra, dan Syauqi Zavier Savero), kami tinggal di perumahan Permata Jingga, Kota Malang.
Dari berbagai tahapan hidup bersama anak-anak, saya merasa saat lahir anak pertama di rumah mertua adalah periode yang paling menantang. Saya berusaha keras mencari tambahan penghasilan sambil menjaga warnet. Ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang mengubah saya dan keluarga menjadi lebih baik.
Bersambung……
Baca juga part sebelumnya Part 11 : Sekapur Sirih Resep Kedua, Perihal TV Hitam Putih
Yang belum membaca part sebelumnya boleh nggih dari Part 1: Sekapur Sirih, Beban Menjadi Tantangan