Menu ||

Menu X

Part 10 : Sekapur Sirih Resep Kedua, Niat Bekerja di PT Telkom

Niat Bekerja di PT Telkom

Saya lulus dari STM Telkom pada tahun 2000. Tidak seperti angkatan pertama hingga ketiga di sekolah tersebut, saya tidak bisa langsung menjalani ikatan dinas.

Sebagai pilihannya, saya punya kesempatan mengikuti tes menjadi karyawan lapangan di PT Telkomsel. Dengan sedikit rasa gugup tetapi tetap percaya diri, saya melalui tahapan-tahapan tes tersebut. Tes pertama lulus, tes kedua juga lulus.

Saat itu ada 20 lulusan terbaik yang diundang untuk mengikuti tes lanjutan atau tes tahap tiga di PT Telkomsel. Di situ saya merasa yakin bahwa ini adalah jalan yang diberikan Allah atas doa-doa saya selama ini yang ingin menjadi karyawan di perusahaan plat merah tersebut.

“Bayangan saya waktu itu adalah bisa membahagiakan ibu saya dengan pekerjaan ini, karena gajinya besar,” kenang saya.

Proses tes itu pun dimulai, saya masih pada keyakinan bahwa ini adalah jalan yang diberikan oleh Allah. Pada tes terakhir ini, saya dan para peserta lainnya mendapat suatu kertas yang berukuran cukup besar.

Kertas itu berisi hitungan-hitungan, semacam tes hitungan pada tes psikotes yang menekankan pada kecepatan mengerjakannya. Saat mengerjakan itu, saya tidak terlalu cepat.

Begitu beberapa peserta lainnya sudah selesai, saya belum selesai, saya mulai panik dan waktu sudah habis. “Yang lain itu pada bilang selesai-selesai, aduh saya nggak selesai-selesai, ya Allah,” kenang saya sambil tersenyum.

Akhirnya, dikumpulkan juga hasil tes terakhir itu. Berselang beberapa waktu, pengumuman tiba, ternyata hasil tidak seperti yang saya yakini.

Saya tidak diterima di perusahaan yang diimpikan itu. Saya menduga tidak selesainya tugas di tes terakhir menjadi salah satu penyebab kegagalan tersebut.

Melihat pengumuman tersebut, saya merasa kecewa karena harapan pekerjaan tersebut menjadi kebanggaan dan menjadi jalan saya untuk bisa membahagiakan orang tua saya. “Jadi saat itu 10 orang diterima, dan 10 lainnya tidak diterima, saya masuk yang tidak diterima,” kata saya.

Sejak saat itu, saya punya tekad bahwa meski gagal menjadi karyawan di PT Telkomsel, dalam hati saya tertanam suatu impian dan keyakinan bahwa suatu saat saya harus lebih kaya daripada teman-teman saya yang bekerja di Telkomsel dengan apa pun caranya. Mindset itu saya tanamkan dalam-dalam di benak saya sembari melalui proses hidup yang panjang dan berliku hingga saya betul-betul on top.

Tak lama dari pengumuman gagal tersebut, saya berusaha mencoba peruntungan lagi dengan melamar pekerjaan di sebuah perusahaan IT di Jakarta.

Saat itu, saya berangkat dari Malang menggunakan Kereta Api Matarmaja. Saya sangat ingat saat naik kereta itu tidak seenak kondisi kereta hari ini.

Penuh sesak dan kotor, pengamen hilir mudik naik-turun bahkan juga ada copet. Tak boleh lengah, jika tidak, dompet akan pindah tangan ke tangan pencopet.

Namun demikian, ketidaknyamanan itu harus saya lalui demi sebuah cita-cita mendapat pekerjaan. Saya melalui tantangan itu dengan riang, itulah yang membuat saya tetap tangguh.

Dari lamaran pekerjaan itu, harapan saya juga besar bisa mendapat penghasilan yang besar. Namun, lagi-lagi saya menelan kekecewaan untuk yang kedua kalinya.

Saya tidak diterima di perusahaan tersebut. Akhirnya, saya memutuskan untuk kembali ke Malang dan ikut program magang di PT Telkom di Jl A Yani, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

Saat magang, saya tinggal di Sawojajar yang terhitung lumayan jauh dari tempat magang. Saya berangkat ke tempat magang dengan naik mikrolet atau angkot, bahkan saya harus oper mikrolet dua kali. Ini membuat saya harus menyediakan ongkos ganda untuk bisa magang setiap harinya.

Sementara gaji yang diterima di tempat kerja yang semi magang itu terbilang sangat kecil yaitu Rp225 ribu. Uang segitu memang terbilang kecil untuk kehidupan di Kota Malang tahun 2000. Gaji itu ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saya.

Akhirnya, saya memberanikan diri menghubungi ibu untuk menceritakan keadaan saya yang sedang kekurangan tersebut. Tetapi saat telepon, ibu bilang mengapa masih kurang bukankah sudah bekerja.

Saya memang tidak pernah dimanja oleh ibu untuk urusan uang. Gaji kecil ini membuat saya tidak betah magang. Setelah beberapa bulan di PT Telkom, saya kemudian resign dan mencari lowongan pekerjaan lain.

Saya menemukan peluang kerja sebagai penjaga warnet di Prima Net yang berlokasi di Kayutangan, Kota Malang. Saya mengikuti tes langsung dengan pemilik warnet yaitu Andi Joyosaputra.

Tes saat itu bukan di warnet, melainkan di sebuah pabrik milik pemilik warnet. Saya merasa aneh, karena saya tes bukan untuk bekerja di pabrik tetapi menjadi penjaga warnet.

“Saat itu saya bertanya, pak ini jaga warnet atau bekerja di pabrik, pak,” kenang saya setengah bercanda dengan sang pemilik.

Sesi tes itu, saya ditanya berbagai macam soal IT, salah satunya apakah bisa komputer. Tentu saja bisa, karena memang jurusan saya saat di STM Telkom adalah IT.

Saya juga bertanya berapa gaji yang akan diterima. Ternyata gajinya adalah UMK Kota Malang yaitu Rp325 ribu (UMK tahun 2000).

Gaji sebesar ini sedikit lebih besar daripada saat bekerja di Telkom Blimbing. Saya merasa senang karena dengan besaran gaji tersebut sudah cukup untuk hidup di Malang dan yang penting tidak perlu minta kiriman lagi pada orang tua.

Setelah diterima bekerja di Prima Net, saya ngekos tidak jauh dari tempat kerja, tepatnya berada di belakang warnet. Ini bagian dari cara saya agar tidak perlu mengeluarkan ongkos lagi untuk naik mikrolet. Dan, ternyata gaji itu cukup untuk kebutuhan saya di Malang sebulan.

Bersambung……

Baca juga artikel sebelumnya tentang Part 9 : Sekapur Sirih Resep Kedua, Aktif Belajar Hal Baru

Yang belum membaca part sebelumnya boleh nggih dari Part 1: Sekapur Sirih, Beban Menjadi Tantangan

Part 10 : Sekapur Sirih Resep Kedua, Niat Bekerja di PT Telkom

Contact

Artikel Lainya